Rabu, 27 April 2011

Memposisikan Koruptor dalam Hukum Islam

Mencari (akar) Pijakan Agama bagi Hukum Korupsi
Oleh : M. Rifqi Rosyidi
makalah ini ditulis sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka seminar Majlis Tarjih PWM Jatim tentang Korupsi yang dilaksanakan di Probolinggo, Ahad, 18 April 2004

Pendahuluan
Korupsi seakan sudah identik dengan Indonesia, yang mungkin dapat dikatakan bahwa korupsi merupakan karakter kolektif mayoritas bangsa Indonesia, sehingga sebagaian pengamat mengatakan bahwa salah satu penyebab krisis multi dimensi yang melanda banga indonesia adalah korupsi (dan atau KKN) yang dibudayakan oleh pemerintahan orde baru.
Ketika semangat reformasi untuk menggulingkan rezim orde baru yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun dikumandangkan, maka issu sentral yang berkembang pada saat itu adalah pemberantasan korupsi (KKN); tiada hari tanpa istilah korupsi, sehingga tukang becak dan kaum buruhpun (yang dipandang sebagai kaum margianal) sangat pandai berbicara tentang korupsi.
Berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan tindakan korupsi ini, salah satunya adalah ditandatanganinya kesepakatan bersama antara NU dan Muhammadiyah untuk bekerjasama memberantas korupsi dan mengajukan hukuman seberat-beratnya.

Tulisan ini (meskipun mungkin tidak memenuhi kriteria penulisan secara ilmiah) berupaya untuk memberikan gambaran global dalam rangka mencari akar (pijakan) agama bagi hukum korupsi.

Definisi Korupsi
A. Menurut bahasa (al-ma`nâ al-lughawi)
1. Korupsi berasal dari bahasa inggris corrupt atau corruption yang mempunyai arti; Pertama, jahat, buruk, rusak, curang. (John M. Echols dan Hasan Shadily, 1995). Kedua, suka memakai barang (uang yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi (Dept. Pend. dan Keb, 1997)
2. Dalam mu`jam lughat al-fuqahâ’, disebutkan bahwa corruption mempunyai arti al-fasâd. (M. Rawwâs Qal`aji dan Hâmid Sâdiq Qunaibi, 1985).

B. Menurut Isthilâhi.
Korupsi, sebagaimana yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. (1997).
Dari paparan beberapa pengertian tersebut memberikan gambaran awal bahwa korupsi mencakup segala bentuk prilaku dan tindak kejahatan, kecurangan, penyelewangan serta tindakan merusak; baik dalam bentuk pengelapan dana maupun manipulasi data.

Teks Agama (qur’an-hadits) tentang korupsi
Berpijak pada definisi (lughawi dan isthilâhi) tersebut, nash-nash agama yang berbicara tentang masalah ini dibagi menjadi dua kategori; kategori pertama dalil yang secara umum berbicara tentang larangan memakan (mengambil) harta orang lain tanpa hak (dhâlim), dan kedua dalil yang secara implisit berbicara tentang larangan tindak korupsi itu sendiri.
Pertama: nash agama yang secara umum melarang memakan harta orang lain dengan dhalim;
1. Q.S. Al-Baqarah 188
( ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل و تدلوا بها إلى الحكّام لتأكلوا فريقا من أموال الناس بالإثم و أنتم تعلمون )
2. Q.S. Al-Nisâ’ 10
( إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون فى بطونهم نارا و سيصلون سعيرا )
3. Q.S. Al-Nisâ’ 29
( يأيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلاّ أن تكون تجارة عن تراض منكم . . . )
4. Q.S. Al-Nisâ’ 159 - 161
 فبظلم من الذين هادوا حرمنا عليهم طيبات أحلت لهم و بصدهم عن سبيل الله كثيرا ، و أخذهم الربى و قد نهوا عنه      و أكلهم أموال الناس بالباطل و أعتدنا للكافرين منهم عذابا أليما 
5. Q.S. Al-Tawbah 34
( يأيها الذين آمنوا إن كثيرا من الأحبار و الرهبان ليأكلون أموال الناس بالباطل و يصدون
عن سبيل الله ، و الذين يكنزون الذهب و الفضة ولا ينفقونها فى سبيل الله فبشرهم
بعذاب أليم )
Kedua: Nash agama yang secara implisit berbicara tentang larangan tindak korupsi (atau yang menyerupainya, yakni al-ghulûl).
Q.S. Ali Imrân 161:
( و ما كان لنبي أن يغلّ ، و من يغلل يأت بما غلّ يوم القيامة ، ثم تُوَفّى كلّ نفس ما كسبت و هم لا يظلمو

Pengertian al-ghulûl
M. Rawwâs Qal`aji dan Hâmid Shâdiq Qunaibi (1985) menyatakan bahwa;
الغلول : بضم الغين مصدر غلّ ؛ أخذ الشيء و دسه فى متاعه . (وهو السرقة من الغنيمة قبل القسمة)
Ibn Mandzûr (1994 : 11/500) menyatakan :
الغلول فى الحديث : الخيانة فى المغنم و السرقة من الغنيمة قبل القسمة؛ وكلّ من خان فى شيء خفية فقد غلّّ .
Definisi yang sama disampaikan oleh Ibn Atsîr (1965 : 3/380). Begitu pula dengan yang diungkakan oleh Imam Al-Râzi (1990 : 9/57) yang menyatakan bahwa:
الغلول هو الخيانة . و أصله أخذ الشيء فى الخفية ؛ يقال أغلّ الجازر و السالخ إذا أبقى فى الجلد شيئا من اللحم على طريق الخيانة
Ungkapan senada disampaikan oleh Al-Ashfahâni (1992 : 611).
Meskipun istilah al-ghulûl ini pada awalnya hanya dipakai untuk menunjukkan kecurangan pada pembagian harta rampasan perang (al-ghanîmah), tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dipakai di luar masalah ini (penggelapan harta rampasan perang), karena pada prinsipnya yang menjadi tolok ukur (`illah) adalah kecurangan (al-khiyânah) (Al-Râzi, 1990 : 9/59, Ibn Mandzûr, 1994 : 11/501), Sebagaimana yang didefinisikan oleh Al-Sa`di (1410 H, 1/447) ketika membahas tentang ayat 161 q.s. Âli `Imrân,
الغلول هو : الكتمان من الغنيمة ، و الخيانة فى كلّ ما يتولاه الإنسان.

Kriteria tindak korupsi
Segala bentuk kecurangan adalah korupsi; baik yang berhubungan dengan penggelapan dana maupun yang berhubungan dengan manipulasi data. Oleh karena itu, sekedar untuk mengetahui jangkauan dan lingkup korupsi, ada beberapa ayat al-Qur’an dan hadits yang bisa memberikan gambaran tentang beberapa tindakan yang masuk dalam kriteria korupsi:
1. Al-Ghashb.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ألا أنبئكم بأكبر الغلول ، الرجلان يكون بينهما الدار و الأرض ، فإن اقتطع أحدهما من صاحبه موضع حصاة طوقه من الأرضين السبع 
2. komisi (pegawai).
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ( من بعثناه على عمل فغلّ شيئا جاء يوم القيامة يحمله على عنقه) و قال : ( هدايا العمّـال (ر:الولاة) غلول ) أخرجه أحمد
(lihat, Shohih Al-Tirmidzi, juz 3 hlm. 621, nmr. Hadits 1335).
3. Mengurangi Timbangan dan takaran
قال الله تعالى : ( ويل للمطففين ، الذين إذا اكتالوا على الناس يستوفون ، و إذا كالـوهم أو وزنـوهم يخسرون . . . ) سورة المطففين : 1 – 3
4. Al-Risywah

Hukum (syar`i) korupsi
Dari pemaparan ayat-ayat al-qur’an dan beberapa hadits di atas, maka dapat dipastikan bahwa korupsi (apapun namanya) adalah haram bahkan termasuk salah satu dosa besar (1410 H; 1/447).
Meskipun demikian, ada ungkapan yang menarik (untuk dicermati dan dikaji ulang) disampaikan oleh Al-Râzi (1990:9/58), bahwa ada 2 (dua) pengecualian di mana pada tataran tersebut seseorang diperbolehkan melakukan “korupsi” :
1. mengambil makanan (dan makanan binatang ternak) secara tidak berlebihan (bi qadri al-hâjah wa al-kifâyah). Hal yang demikian ini disandarkan pada riwayat:
a.    قال عبد الله بن أبى أوفى : أصبنا طعاما يوم حنين ، فكان الرجل يأتى فيأخذ منه قدر الكفاية ثم  ينصرف
b.  عن سلمان أنه أصاب يوم المدائن أرغفة ، و جُبنا ، و سكينا ، فجعل يقطع من الجبن ويقول : كلوا على اسم الله
2. Fî hâlati al-dharûrah (dalam keadaan terpaksa)
روي عن البراء بن مالك أنه ضرب رجلا من المشركين يوم اليمامة فوقع على قفاه فأخذ سيفه وقتله به
Yang perlu ditekankan berkaitan dengan kaidah الضرورة تبيح المحظورات , adalah bahwa batas “minimal” darurat adalah kalau tidak mengerjakan perbuatan tersebut seseorang akan (terancam) mati.
Hukuman seorang koruptor.
Ada tiga macam hukuman yang dilembagakan dalam syariat Islam berkenaan dengan tindak kriminal (al-jinâyât): al-hadd, al-qishâsh dan al-ta`zîr.
Ketika teks-teks agama yang termaktub di atas diteliti dan diamati, tidak didapatkan satupun ayat yang menentukan hukuman fisik bagi mereka yang melakukan al-ghulûl (korupsi), yang ada hanya ancaman-ancaman akan siksa di hari kiamat (hukuman moral). Begitu halnya dengan rasulullah saw yang (sesuai dengan riwayat yang ada) tidak pernah memberikan atau menentukan hukuman fisik bagi mereka, yang pernah beliau lakukan terhadap pelaku tindak al-ghulûl (korupsi) adalah memberikan ancaman-ancaman ukhrawi agar mereka mengembalikan barang tersebut.
Meskipun demikian bukan berarti korupsi bebas dari hukuman duniawi (fisik), karena adanya ancaman dan anjuran (kewajiban) mengembalikan barang yang digelapkannya tersebut merupakan pijakan adanya hukuman ta`zir, yaitu hukuman yang pelaksanaan dan kriterianya diserahkan kepada pemimpin.
Apa standar minimal yang digunakan seorang pemimpin ketika menghukum pelaku korupsi?.
Ada dua tindakan kriminal yang mempunyai kemiripan (kalau tidak boleh dikatakan sama persis) dengan tindakan korupsi ini : yaitu al-sariqah dan al-hirâbah.
Apabila hukumannya disamakan dengan al-sariqah, maka standar hukuman korupsi adalah potong tangan.(Q.S. Al-Mâ’idah 37), akan tetapi kalau diqiyâskan dengan al-hirâbah, maka hukumannya di antara 4 (empat) pilihan; dibunuh, disalib, dipotong tangan kanan dan kaki kiri, atau diasingkan (Q.S. Al-Mâ’idah 33). Dengan demikian, dalam pelaksanaan hukuman bagi koruptor, pemimpin memberikan hukuman sesuai dengan tingkat korupsinya, bahkan dibunuh dan disalib, atau hanya sekedar memberi ancaman (sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah) kalau (memang) yang demikian itu akana membawa kemaslahatan bagi orang banyak.
Kesimpulan.
Dari uraian di atas, mungkin bisa diambil kesimpulan (sementara, untuk dijadikan bahan kajian lanjutan). Pertama: bahwa al-ghulûl adalah korupsi, dan segala macam kecurangan, penyelewengan dan penggelapan adalah tindakan korup; sehingga digambarkan oleh beberapa ulama bahwa seorang yang mempunyai profesi menguliti kulit binatang, dengan sengaja menyisakan sedikit daging di kulit tersebut untuk “dinikmati” dirumah nanti adalah seorang koruptor. (Al-Ashfahâni,1992:611, Al-Râzi, 1990: 9/57). Kedua: bahwa hukuman tindak korupsi sangat variatif sesuai dengan al-mashlahah yang ada dan kadar kekorupsiannya, mulai dari pengasing (al-nafyu:penjara), potong tangan sampai dengan dibunuh atau hanya sekedar ancaman. wallahu al-musta`ân.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*

Islam Mosque

Silaturrahmi...


ShoutMix chat widget

Kegiatan MAM 02