Jumat, 08 April 2011

Zakat Yang Mensejahterakan

M. Dawam Rahardjo (1999:498) dalam sebuah bukunya menceritakan pengalaman pribadi Dirut Grameen Bank Prof. Muhammad Yunus, bahwa sesuai dengan yang pengamatannya bahwa orang-orang yang diberi dana zakat setiap tahunnya, nasibnya kini tidak lebih baik dari keadaannya 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun yang lalu, yaitu tetap miskin. Sebaliknya orang-orang yang mendapatkan kredit kecil dari Bank yang dikelolanya, keadaannya bisa lebih baik 3 (tiga) sampai 5 (lima) kali dari keadaan semula.

Anggap saja pengalaman pribadi Prof. Muhammad Yunus yang diceritakan oleh M. Dawam Rahardjo tersebut sebagai illustrasi empiris yang menghasilkan sebuah hipotesa kasar bahwa zakat konsumtif cenderung untuk melanggengkan kemiskinan meskipun pada prinsipnya disyariatkan zakat memang untuk tujuan yang seperti ini, sedangkan zakat produktif terkesan lebih efektif dalam rangka menciptakan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat, akan tetapi pendayagunaan zakat untuk kebutuhan produktif ini masih menjadi polemik dan perdebatan yang panjang, antara yang pro dan yang kontra, sehingga perlu mendapat kajian lebih lanjut dari para pakar (Amin Rais,1998:133)
Sisi negatif yang timbul akibat distribusi zakat secara konsumtif adalah kecenderungan meningkatnya inflasi karena zakat pada hakekatnya seperti yang telah disinggung pada bab-bab yang terdahulu memang pemindahan (sebagaian) kekayaan dari tangan orang kaya kepada kaum miskin. Dari sini ada potensi bertambahnya permintaan yang mengakibatkan inflasi, dan selama harga-harga naik suatu distribusi zakat yang kurang hati-hati dan tidak mempertimbangkan skala prioritas, tidak hanya mendorong kenaikan harga lebih tinggi tetapi juga merugikan kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Untuk itu agar tidak terjebak dalam kesulitan ini, maka muncullah ide surplus zakat budget, artinya bahwa jumlah total penerimaan zakat harus lebih besar dari jumlah total distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa ide surplus zakat budget tidak menginginkan semua dana zakat yang terkumpul dibagi habis, sisanya menjadi tabungan yang dapat diwujudkan dalam bentuk pembiayaan proyek-proyek produktif (Syahrin,1999:105).
Gagasan semacam ini memang perlu ditindak lanjuti, terutama sekali yang terkait dengan prosentase pengalokasian dana, penemuan dan penentuan jenis kegiatan produksi dan bidang investasi, mengingat distribusi zakat secara konsumtif sangat potensial menjadikan golongan miskin tetap miskin, malas dan tenggelam dalam budaya kemiskinannya. Kenyataan meluasnya budaya miskin dengan hanya menggantungkan kelangsungan hidupnya terhadap tunjangan-tunjangan sosial inilah yang menjadikan para pelopor Negara Kesejahteraan (welfare state) berpikir untuk merekonstruksi ulang kebijakan-kebijakan tentang kesejahteraan, dalam arti mereka memberikan jalan keluar dari kendala ini bahwa nantinya kebijakan kesejahteraan harus diintegrasikan dengan program-program riil untuk pengembangan aktif masyarakat madani (Anthony Giddens,2000:137).
Secara garis besar, menurut penggagas terciptanya Negara Kesejahteraan ini, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi warganya dari kemiskinan. Dengan banyak mengandalkan pendapatan dari sektor ketiga; penarikan dan perolehan pajak dari perusahaan-perusahaan dan warga negara pada umumnya, Negara Kesejahteraan bertanggung jawab atas terciptanya kesejahteraan masyarakat. Bentuk tanggung jawab negara untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat diwujudkan dalam pemberian tunjangan bagi para pengangguran dan keluarga miskin, tambahan pendapatan kepada golongan yang menerima upah rendah, dan pensiun hari tua, penyediaan layanan kesehatan secara cuma-cuma atau dengan ongkos minimal, menyelenggarakan pendidikan tanpa pembayaran atau menyelenggarakan perumahan rakyat dengan subsidi (M. Dawam Rahardjo,1987:xxii) yang pada intinya bahwa kesejahteraan yang digagas oleh Negara Kesejahteraan hanya menekankan kepada kesejahteraan aspek materi (ekonomi) saja tanpa memperhatikan aspek-aspek spiritual dan moral, sehingga yang terjadi kemudian tidak terbatas kepada proses pemiskinan sebagaimana yang diprediksi oleh Karl Marx (Mannan,1997:358), tetapi yang lebih fatal adalah perubahan mental, timbulnya moral hazard dan penipuan. Kelemahan ini yang akhirnya membuat para pelopor Negara Kesejahteraan sadar bahwa pada intinya kesejahteraan tidak hanya diukur dengan konsep ekonomi tetapi yang perlu mendapat perhatian adalah konsep psikis, moral dan spritual. Karena itu harus disadar bahwa tunjangan materi memang tidak akan pernah memadai untuk menciptakan kesejahteraan (Anthony Giddens,2000:136)
Meskipun konsep yang diusung oleh Negara Kesejahteraan dengan ungkapan: dari mereka sesuai kemampuan, untuk mereka sesuai kebutuhan, mempunyai semangat yang hampir sama dengan ungkapan-ungkapan dalam khazanah Islam: “khudz min amwâlihim shadaqatan tuthahhiruhum watuzakkîhim bihâ”, “kay lâ yakûna dûlatan bayna al-aghniyâ’i minkum”, “tu’khadzu min aghniyâ’ihim waturaddu `alâ fuqarâ’ihim” tetapi pada tataran praktek, konsep Islam tentang Negara Kesejahteraan berbeda dari gagasan Negara Kesejahteraan yang berjalan di dunia barat. Karena Negara Kesejahteraan yang digagas Islam bertujuan mencapai kesejahteraan secara menyeluruh, sedangkan kesejahteraan yang bersifat materi hanya sebagaian daripadanya. Tekanan yang sama pada zakat dan shalat dalam Al-Qur’ân sangat penting artinya untuk memahami dengan tepat sifat dan karakter sesungguhnya dari Negara Kesejahteraan model Islam (Mannan,1997:358)
Medinah pada era Rasulullah dan al-khulafâ’ al-râsyidîn bisa disebut sebagai gambaran Negara Kesejahteraan model Islam (Tjokroaminoto menyebutnya sebagai Republik Sosialis) yang secara mendasar mempunyai nilai lebih dari sekedar Negara Kesejahteraan yang digagas beberapa negara di Benua Eropa. Mempunyai nilai lebih karena Islam yang dijadikan sebagai landasan hidup (negara) Medinah adalah agama kesejahteraan (Welfare Religion) yang tidak hanya memperhatikan kesejahteraan material tetapi kesejahteraan yang menyeluruh (fî al-dunyâ hasanah wa fî al-âkhirati hasanah), sehingga berangkat dari spirit Welfare Religion, (Negara Islam) Medina tidak begitu khawatir dengan resiko-resiko yang timbul dari praktek Negara Kesejahteraan pada umumnya;munculnya budaya kemiskinan, meluasnya moral hazard dan penipuan, serta (kecanduan) ketergantungan yang meluas kepada tunjangan-tunjangan dan program-program kesejahteraan. Semakin besar tunjangan yang diberikan, akan semakin besar pula kesempatan munculnya moral hazard (Anthony Giddens,2000 :133-134).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*

Islam Mosque

Silaturrahmi...


ShoutMix chat widget

Kegiatan MAM 02