Banyak ungkapan yang telah kita dengarkan dan akan kita dengarkan tentang kutamaan bulan Ramadhan, bahkan kita juga meyakini kebenaran ungkapan rasulullah saw tentang keistimewaan bulan ini; awwaluhû rahmah (permulaannya penuh rahmat), awsathuhû maghfirah (tengah-tengahnya penuh pengampunan), âkhiruhû `itqun min-an-nâr (pada bagian akhirnya ada pembebasan dari api neraka). Tetapi selama ini, apakah umat Islam yang sudah hafal dengan slogan itu juga memaksimalkan segala bentuk ibadahnya sebagai bentuk pengejawantahan dari keyakinan itu dalam rangka meraih target yang dijanjikan tersebut?
Sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur`an tentang kewajiban puasa Ramadhan, bahwa target maksimal yang hendak dan harus diraih oleh setiap orang yang menjalankan ibadah puasa adalah menjadi orang yang bertaqwa (la`allakum tattaqûn), maka pertanyaannya adalah, mungkinkah dengan hanya menahan lapar dan dahaga (sebagaimana pengertian shiyâm pada umumnya) seseorang dapat mencapai derajat yang sangat mulia itu?. Jawabannya pasti tidak. Jawaban ini juga diperkuat oleh sebuah ungkapan rasulullah dalam hadits yang menyatakan bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan nilai lebih dari puasanya tersebut kecuali hanya merasa lapar dan dahaga saja. Maka perlu disadari bahwa tidak semua orang muslim yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dengan serta merta menjadi muttaqin seusai Ramadhan, apalagi yang tidak menjalankannya.
Dengan demikian, ada satu hal yang patut dikaji ulang sebelum Ramadhan tahun ini agar ibadah puasa ini menjadi bisa lebih bermakna bagi kehidupan kita setelahnya, adalah merekonstruksi atau pemahaman kita tentang makna puasa itu sendiri. Shiyâm (yang dalam bahasa kita diartikan puasa) secara lughawi mempunyai arti imsâk (menahan). Dari arti lughawi ini, kemudian beberapa ulama mendefinisikan shiyâm (puasa) dengan menahan diri dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa (makan, minum, jimâ`) dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Maka barang siapa yang menjalan puasa sesuai dengan definisi tersebut, berarti dia sudah menjalankan kewajiban. Tetapi untuk menjadi muttaqin setelah Ramadhan, parameternya bukan sekedar menjalankan ini saja. Ada ikatan yang sangat erat antara pelaksanaan ibadah puasa dengan pelaksanaan ibadah yang lain; ketepatan shalat lima waktu, pelaksanaan qiyamu Ramadhan, tadarrus dll., bahkan perilaku keseharian kita sangat mempengaruhi nilai ibadah puasa itu.
Maka pengejawantahan makna imsâk (menahan diri) agar puasa ini mempunyai makna lebih harus difahami secara holistik dan universal. Imsâk tidak saja diartikan dengan menahan, tetapi juga harus dimaknai dengan pengendalian, artinya mengendalikan hati untuk meningkatkan keikhlasan dan selalu ingat kepada Allah. Kalau falsafah ingat Allah itu dimengerti dengan baik, maka akan tumbuh pada diri masing-masing individu sebuah kesadaran bahwa kehidupan ini tidak akan pernah luput dari pengawasanNya. Dan selanjutnya akan terjadi perubahan yang simultan dalam kehidupan kita, minimal ketika kita sadar tentang keberadaan dan kekuasaan Allah swt kita akan sekuat tenaga (dengan semangat imsâk tersebut) mengendalikan diri agar bisa meminimalisir kamaksiatan dan kesalahan, menahan lisan dari berkata dusta dan ghîbah, serta berusaha untuk selalu jujur, mengendalikan tangannya agar tidak mangambil dan merampas hak orang lain, mengatur langkahnya menuju kebajikan dan selalu berjalan di atas garis yang ditetapkan, mengontrol perbuatannya agar tidak merugikan orang lain, memotivasi diri untuk selalu berbuat yang mendatangkan manfaat bagi kehidupannya dan kehidupan orang lain. Kalau saja imsâk dalam pemaknaan yang holistik ini sudah menjadi pertimbangan hidup, maka kita akan selalu berhati-hati dalam melangkah, dan itulah predikat taqwa yang akan kita dapatkan melalui pelaksanaan ibadah puasa; takut kepada Allah swt dengan mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya serta tidak melakukan hal-hal yang bisa mengurangi martabat dan anggunnya kepribadian.
Pada prinsipnya, Islam (dalam hal ini Allah swt dan RasulNya), melalui perintah puasa Ramadhan ini berusaha untuk menyadarkan kita bahwa segala bentuk pelaksanaan ibadah itu mempunyai keterkaitan antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing tidak bisa berdiri sendiri, begitu halnya dengan perbuatan dan perilaku kita sehari-hari yang sangat besar pengaruhnya terhadap nilai ibadah yang kita kerjakan; kita mungkin sering mendengar ungkapan Rasulullah saw dalam hadits tentang bagaimana Allah swt menghapus nilai shalat 40 hari bagi mereka yang mendatangi dan percaya dukun/paranormal, juga ayat al-Qur`an yang menunjukkan bagaimana Allah swt menghapus semua nilai ibadah orang yang menyekutukanNya, serta sejarah telah mencatat bagaimana khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq memerangi orang-orang yang membeda-bedakan antara kewajiban menunaikan shalat dan kewajiban membayar zakat.
Dengan momentum Ramadhan pada tahun ini, mari kita mulai membangun kesadaran dan memahami semua bentuk ibadah secara menyeluruh (kâffah) sehingga pada tataran tertentu diharapkan mampu memberi pengaruh yang positif bagi kehidupan kita masing-masing untuk menjadi lebih baik dan mempunyai makna. Selamat berpuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar