Kajian Ayat Puasa 1
“Al-Kuffâr Mukhathabûn bi Furû` al-Syarî`ah”. Pada prinsipnya
ibadah dalam pengertian umum maupun khusus, diwajibkan kepada semua makhluq
Allah swt; yang kafir maupun yang mukmin. Perintah pertama yang ada di dalam
al-Quran adalah perintah beribadah yang ditujukan kepada tiga golongan yang
sebelumnya telah diceritakan sifat dan kriterianya; muttaqûn, kâfirûn
dan munâfiqûn (Q.S. al-Baqarah [2]: 21), karena memang inilah tujuan
penciptaan manusia dan jin (Q.S. al-Dzariat [51]: 56). Lebih detail Allah swt
memberikan sebuah illustrasi dialog antara orang-orang mukmin dan kafir (mujrimûn)
tentang apa yang menyebabkan mereka masuk neraka (saqar); adalah karena tidak
shalat, tidak zakat, besdusta dan berkata bathil serta mendustakan hari akhir (Q.S.
al-Muddatstsir [74]: 42-47). Maka dari ayat-ayat yang mempunyai muatan yang
sama dengan pernyataan di atas, orang kafir (juga) mempunyai kewajiban
melaksanakan beban agama (takâlîf
syarî`ah) yang bersifat furû`iyyât,
seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Begitu pula dengan kewajiban
menjauhi semua larangan-larangan
agama seperti
riba, zina, mengambil hak orang lain, berdusta dan lain sebagainya.
Tetapi, di dalam banyak ayat ketika ada perintah menjalankan sesuatu dan
larangan untuk mengerjakan sesuatu, Allah hanya memanggil orang-orang yang
beriman saja dengan ungkapan yâ ayyuhâ-l-ladzîna âmanû, sebagaimana perintah puasa
ini. Mengapa?
Pertama, para mufassir mengatakan bahwa panggilan yang ditujukan khusus
untuk orang-orang beriman untuk menjalankan kewajiban (taklif) tersebut merupakan
salah satu bentuk penghormatan, penghargaan dan rasa cinta Allah kepada mereka
karena telah memenuhi panggilan untuk beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, yang
mendapat kemuliaan dan penghargaan ini harus bersyukur dan tahu diri dengan
memperbanyak ibadah dan berbuat ihsan (Q.S. al-Anfal [8]: 24)
Kedua, ini merupakan isyarat dan perintah dari Allah untuk memantapkan
keimanan dan keberserahan diri kepada Allah, karena seberat apapun beban
pekerjaan yang diterima akan menjadi
ringan kalau dibarengi dengan keimanan yang benar dan keteguhan hati (Q.S.
al-Thalaq [65]: 4). Tanpa landasan keimanan yang mantap puasa yang hanya 1
bulan dalam setahun, shalat lima waktu yang tidak menghabiskan waktu lebih dari
30 menit sehari, zakat yang hanya 2.5% dari total harta yang dimiliki akan
terasa berat (Q.S. al-Baqarah [2]: 45-46, 143) dan banyak manusia yang
mengabaikan kewajiban tersebut (Q.S. al-Ahzab [33]: 72)
Ketiga, semua ibadah dan perbuatan baik, tidak akan
mempunyai nilai
di akhirat dan tidak akan diterima tanpa landasan iman yang benar dan keikhlasan. Al-Quran memberikan perumpamaan amal baik yang
tidak dilandasi iman dan ikhlas seperti fatamorgana (Q.S. al-Nur [24]: 39-40), dan debu yang
berterbangan (Q.S. al-Furqan [25]: 25).
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa ada 3 [tiga] syarat yang
harus dipenuhi supaya amal dan ibadah seseorang sah dan diterima: Pertama, dilandasi
dengan keimanan yang benar. Kedua, dikerjakan dengan ikhlas mengharap
ridla Allah semata (Q.S. al anBayyinah : 5) dan ketiga,harus mutâba`ah; yaitu
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan tuntunan Rasulullah (Q.S. Ali Imran :
31, Q.S. al-Hasyr : 8).
Kalau kata âmanû dikaji secara linguistik, maka pecahan (isytiqâq)
kalimatnya akan menghasilkan beberapa varian kata, antara lain; Pertama, al-îmân
yang lebih sering diartikan dengan keyakinan (faith). Kedua, al-amânah yang mempunyai arti tugas
dan tanggug jawab (taklîf) (Q.S. al-Ahzab [33]: 72).
Ketiga, al-amîn yang menjadi karakter
nabi Muhammad sejak kecil, bisa dipercaya (trust). Keempat, al-amân yang
berarti keamanan dan kenyamanan.
Maka yâ ayyuhâ-l-ladzîna âmanû tidak sekedar
panggilan kepada orang yang beriman. Tetapi semangatnya bisa lebih hidup dari
itu. Dengan sedikit objektifikasi dan internalisasi kita bisa memberikan
pembacaan terhadap teks tersebut dengan makna seberti ini: meskipun sebenarnya
ibadah shiyam itu kewajiban semua manusia, tetapi hanya orang-orang yang
beriman yang mendapat undangan kehormatan dari Allah untuk melaksanakan tugas
ini. Maka konsekwensinya, yang mendapat undangan kehormatan tersebut harus mampu
menjaga trust dengan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab
meskipun terkesan berat, karena seberat apapun sebuah pekerjaan, akan menjadi
ringan kalau dilandasi keyakinan yang kuat.
Maka iman yang benar dan keyakinan
hati yang kuat, penting peranannya dalam menumbuhkan kepercayaan diri untuk
mengemban misi yang berat dengan penuh tanggung jawab. Intinya ada pada tashhîh
al-niyyah, tashhîh al-îmân, tashhîh al-`azîmah dan tashîh
al-ghâyah. (M. Rifqi Rosyidi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar