Kamis, 24 Mei 2018


Kajian Ayat Puasa 1

Al-Kuffâr Mukhathabûn bi Furû` al-Syarî`ah”. Pada prinsipnya ibadah dalam pengertian umum maupun khusus, diwajibkan kepada semua makhluq Allah swt; yang kafir maupun yang mukmin. Perintah pertama yang ada di dalam al-Quran adalah perintah beribadah yang ditujukan kepada tiga golongan yang sebelumnya telah diceritakan sifat dan kriterianya; muttaqûn, kâfirûn dan munâfiqûn (Q.S. al-Baqarah [2]: 21), karena memang inilah tujuan penciptaan manusia dan jin (Q.S. al-Dzariat [51]: 56). Lebih detail Allah swt memberikan sebuah illustrasi dialog antara orang-orang mukmin dan kafir (mujrimûn) tentang apa yang menyebabkan mereka masuk neraka (saqar); adalah karena tidak shalat, tidak zakat, besdusta dan berkata bathil serta mendustakan hari akhir (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 42-47). Maka dari ayat-ayat yang mempunyai muatan yang sama dengan pernyataan di atas, orang kafir (juga) mempunyai kewajiban melaksanakan beban agama (takâlîf syarî`ah)  yang bersifat furû`iyyât, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, dan lainnya. Begitu pula dengan kewajiban menjauhi semua larangan-larangan agama seperti riba, zina, mengambil hak orang lain, berdusta dan lain sebagainya.
Tetapi, di dalam banyak ayat ketika ada perintah menjalankan sesuatu dan larangan untuk mengerjakan sesuatu, Allah hanya memanggil orang-orang yang beriman saja dengan ungkapan yâ ayyuhâ-l-ladzîna âmanû, sebagaimana perintah puasa ini. Mengapa?
Pertama, para mufassir mengatakan bahwa panggilan yang ditujukan khusus untuk orang-orang beriman untuk menjalankan kewajiban (taklif) tersebut merupakan salah satu bentuk penghormatan, penghargaan dan rasa cinta Allah kepada mereka karena telah memenuhi panggilan untuk beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, yang mendapat kemuliaan dan penghargaan ini harus bersyukur dan tahu diri dengan memperbanyak ibadah dan berbuat ihsan (Q.S. al-Anfal [8]: 24)
Kedua, ini merupakan isyarat dan perintah dari Allah untuk memantapkan keimanan dan keberserahan diri kepada Allah, karena seberat apapun beban pekerjaan yang diterima  akan menjadi ringan kalau dibarengi dengan keimanan yang benar dan keteguhan hati (Q.S. al-Thalaq [65]: 4). Tanpa landasan keimanan yang mantap puasa yang hanya 1 bulan dalam setahun, shalat lima waktu yang tidak menghabiskan waktu lebih dari 30 menit sehari, zakat yang hanya 2.5% dari total harta yang dimiliki akan terasa berat (Q.S. al-Baqarah [2]: 45-46, 143) dan banyak manusia yang mengabaikan kewajiban tersebut (Q.S. al-Ahzab [33]: 72)
Ketiga, semua ibadah dan perbuatan baik, tidak akan mempunyai nilai di akhirat dan tidak akan diterima tanpa landasan iman yang benar dan keikhlasan.  Al-Quran memberikan perumpamaan amal baik yang tidak dilandasi iman dan ikhlas seperti fatamorgana (Q.S. al-Nur [24]: 39-40), dan debu yang berterbangan (Q.S. al-Furqan [25]: 25).
Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa ada 3 [tiga] syarat yang harus dipenuhi supaya amal dan ibadah seseorang sah dan diterima: Pertama, dilandasi dengan keimanan yang benar. Kedua, dikerjakan dengan ikhlas mengharap ridla Allah semata (Q.S. al anBayyinah : 5) dan ketiga,harus mutâba`ah; yaitu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan tuntunan Rasulullah (Q.S. Ali Imran : 31, Q.S. al-Hasyr : 8).
Kalau kata âmanû dikaji secara linguistik, maka pecahan (isytiqâq) kalimatnya akan menghasilkan beberapa varian kata, antara lain; Pertama, al-îmân yang lebih sering diartikan dengan keyakinan (faith). Kedua, al-amânah yang mempunyai arti tugas dan tanggug jawab (taklîf) (Q.S. al-Ahzab [33]: 72). Ketiga, al-amîn yang menjadi  karakter nabi Muhammad sejak kecil, bisa dipercaya (trust). Keempat, al-amân yang berarti keamanan dan kenyamanan.
Maka  yâ ayyuhâ-l-ladzîna âmanû tidak sekedar panggilan kepada orang yang beriman. Tetapi semangatnya bisa lebih hidup dari itu. Dengan sedikit objektifikasi dan internalisasi kita bisa memberikan pembacaan terhadap teks tersebut dengan makna seberti ini: meskipun sebenarnya ibadah shiyam itu kewajiban semua manusia, tetapi hanya orang-orang yang beriman yang mendapat undangan kehormatan dari Allah untuk melaksanakan tugas ini. Maka konsekwensinya, yang mendapat undangan kehormatan tersebut harus mampu menjaga trust dengan melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab meskipun terkesan berat, karena seberat apapun sebuah pekerjaan, akan menjadi ringan kalau dilandasi keyakinan yang kuat.
Maka iman yang benar dan keyakinan hati yang kuat, penting peranannya dalam menumbuhkan kepercayaan diri untuk mengemban misi yang berat dengan penuh tanggung jawab. Intinya ada pada tashhîh al-niyyah, tashhîh al-îmân, tashhîh al-`azîmah dan tashîh al-ghâyah. (M. Rifqi Rosyidi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*

Islam Mosque

Silaturrahmi...


ShoutMix chat widget

Kegiatan MAM 02