Kamis, 05 Mei 2011

Menyoal "Kelayakan" Guru Agama?

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN AGAMA DAN KEAGAMAAN
DI LINGKUNGAN MADRASAH ALIYAH
           oleh : M. Rifqi Rosyidi

Pendahuluan
Masalah klasik yang masih menjadi bahan perdebatan dalam kaitannya dengan pendidikan agama Islam adalah masalah jumlah jam pelajaran. Munculnya beberapa perilaku menyimpang dari peserta didik; tawuram antar pelajar, penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang lainnya, pergaulan bebas (free sex), ditengarai oleh beberapa pengamat karena terbatasnya jumlah jam yang dialokasikan untuk pendidikan agama, di samping faktor langkanya mata pelajaran budi pekerti dalam kurikulum sekolah.

Terlepas dari pro-kontra serta benar-tidaknya pendapat beberapa pakar pendidikan tersebut, ada sebuah ungkapan “mengerikan” dari calon peserta didik yang menarik untuk dicermati. Ungkapan “hati” tersebut merupakan jawaban dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada mereka dalam kaitannya mengapa lebih memilih belajar di sekolah-sekolah umum (SMU)?, mengapa tidak masuk di sekolah yang berbasis agama (MA) saja?. Calon peserta didik tersebut mengungkapkan akan rasa takutnya menghadapi (pelajaran) agama kalau nantinya belajar di Madrasah Aliyah. Begitu pula ketika calon peserta didik Madrasah Aliyah (MAU) “dicoba” diarahkan untuk mengikuti program Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK), mereka menolak dengan ungkapan klise yang hampir sama, karena takut terhadap pelajaran agama yang nota benenya (serba) bahasa Arab.
Ungkapan “tulus” dari para calon pemimpin bangsa tersebut, yang mengindikasikan adanya perasaan “alergi” belajar agama, melahirkan sebuah pertanyaan besar yang sulit untuk dijawab, dan harus dicari jawabannya; Ada apa dengan (pendidikan) Agama?. (meminjam “istilahnya” Melly Guslow, Ada Apa dengan Cinta?). Apakah (pendidikan) keagamaan saat ini benar-benar menjadi candu (meminjam istilahnya Marxis;Feurbach) bagi pemeluknya?

Mencari Akar Permasalahan
Pendidikan (agama) Islam secara normative mengemban cita-cita prophetic yang sangat mulia; humanisasi, emansipasi dan liberasi. Tiga cita-cita kenabian tersebut, yang oleh Kuntowijoyo dijadikan sebagai fondasi bangunan Ilmu Sosial Profetik disarikan dari kandungan q.s. Âli Imrân 110 yang berbunyi :
كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف و تنهون عن المنكر و تؤمنون بالله
Sehingga tujuan pendidikan agama Islam )dengan merujuk kepada paradigma prophetic di atas(, tidak hanya terfokus pada pengembangan ranah kognitif (kecerdasan intelektual) saja akan tetapi kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual (meminjam istilahnya Donah Zohar untuk mengungkapkan kearifan hati nurani) menjadi target yang dominan ketika agama ini (Islam) menjadikan hati dan estetika sebagai standar kesalehan dan kesalahan;
(إن السمع و البصر و الفؤاد كلّ أولئك كان عنه مسئولا ( سورة الإسراء : 36
(إن فى ذلك لذكرى لمن كان له قلب أو ألقى السمع و هو شهيد (سورة ق : 37
(ألا ، فإن فى الجسد مضغة ، إذا صلحت صلح الجسد كله ، و إذا فسدت فسد الجسد كله ؛ ألا و هى القلب (الحديث
Misi untuk menciptakan kesalehan teologis dan sosiologis, sebagai konsekwensi logis dari konsep pendidikan rahmatan lil `âlamîn, direspon dengan rasa ketakutan (bahkan alergi) dari pada “generasi biangnya” (meminjam istilah ekstra joss), meskipun ketakutan yang “dibayangkan” bukanlah perasaan yang rasional, akan tetapi ungkapan yang terkesan abang-abang lambe (supaya tidak berkesan memandang rendah madrasah) tersebut, bisa dikatakan sebagai anti klimaks dari kejenuhan dalam beragama (kejenuhan teologis), serta akumulasi dari sekian banyak kekecewaan terhadap pelaku (lembaga, guru, orang tua, siswa, stick holders, bahkan kurikulum) pendidikan agama Islam. Dengan demikian ada missing spirit dari proses pendidikan (agama) Islam di Madrasah (MI. MTs, MA) dan di Perguruan Tinggi yang berbasis Islam (IAIN).
Menyoal Profesionalitas Guru
Secara internal, dunia pendidikan Islam pada dasarnya masih menghadapi problem pokok berupa rendahnya kualitas sumber daya manusia pengelola pendidikan. Hal ini terkait dengan program pendidikan dan pembinaan tenaga kependidikan yang relatif lemah, dan pola rekrutmen tenaga pegawai yang tidak selektif. Meskipun demikian sejarah pernah mencatat bahwa penyelesaian atas masalah sumber daya itu “pernah” mengalami penanganan yang serius dan semakin membaik. Di samping adanya usaha perbaikan pada lembaga-lembaga pendidikan. Usaha menuju perbaikan ini pernah terealisasi ketika Malik Fajar, dalam kapasitasnya sebagai menteri agama, (dengan berani) bekerjasama dengan basis keungan dunia; Asian Developtment Bank (ADB) dengan program Basic Education Project (BEP) nya, Islamic Developtment Bank (IDB), untuk menyelenggarakan program-program pelatihan (bukan penataran) dalam berbagai bidang dan profesi kependidikan; muali dari pimpinan madrasah, pengelola administrasi dan keuangan, pustakawan, guru, tenaga bimbingan dan penyuluhan, pengawas sampai dengan pengurus organisasi orang tua, sehingga secara bertahap akan meningkatkan kinerja dan profesionalitas lembaga-lembaga pendidikan Islam dan khususnya madrasah. Tapi kemudian program pemberdayaan ini tidak berjalan mulus (untuk tidak mengatakan berhenti total) seiring dengan pergantian menteri dan kebijakan. Keadaan semacam ini diperparah dengan maraknya aksi kejahatan profesional (professional crime); rekrutmen tenaga yang tidak “objektif” (nepotisme), penyalahgunaan dan penggelapan dana serta manipulasi data untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan fiktif (korupsi dan kolusi) yang sudah menjadi rahasia umum. Salah satu contoh konkrit dari “kebijakan” ini adalah raibnya subsidi operasional tahunan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) dari pemerintah sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per lembaga sejak lima tahun terakhir.
Rekrutmen tenaga pendidik yang tidak objektif tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat profesionalitas mereka. Standar kelayakan (profesionalitas) yang ditetapkan pemerintah dengan bersandar kepada tingkat kesarjanaan saja tidaklah begitu efektif (kalau tidak boleh dibilang salah) untuk meningkatkan mutu pendidikan (agama), profesionalisme dan kelayakan hendaknya dilihat dari tingkat penguasaan terhadap materi (bukan sekedar gelar kesarjanaan) dengan pendekatan yang “menyenangkan”. Para kyai banyak yang tidak mempunyai gelar sarjana, tetapi penguasaan terhadap permasalahan agama bisa disandingkan dengan para guru besar. Untuk itu perlu ada uji kelayakan (test drive) bagi para calon guru agama. Rekrutmen tenaga yang tidak profesional bisa menciptakan “kejenuhan intelektual” di kalangan peserta didik (terutama) di tingkat pendidikan dasar dan menengah (MI dan MTs) yang berdampak (negatif) terhadap minat peserta didik untuk melanjutkan ke Madrasah Aliyah. Sehingga kesalahan pada metodologi karena rendahnya sumber daya manusia, akan mengakibatkan kesalahan teologis dan filosofis pendidikan agama, yang pada akhirnya bukan kesalehan individual ataupun komunal (IQ, EQ dan SQ) yang dihasilkan, tetapi kejenuhan Teologis yang diungkapkan dalam bentuk rasa takut terhadap pelajaran agama (Islamic Phobia). (berlanjut....)

3 komentar:

  1. salam, ustad rifqi terhormat...
    alangkah bagusnya pemikiran yang tertuang di dalam artikel ini.
    sungguh sangat tidak menyangka ada pemikiran semodern ini dan cukup terbuka serta lugas.

    flashback ke jaman dulu ketika saya SMA, saya mendapatkan pemandangan yang kurang profesional.
    semoga dengan tulisan ustad di sini mampu membawa perubahan di sana.

    BalasHapus
  2. syukran !, serta Amin...
    Banyak kyai yang penguasaan materinya di atas profesor, tapi karena tidak punya gelar, akhirnya terpaksa tersingkir dari nama guru formal; hanya "ngaji" di masjid yang tidak diperhatikan "insentif" dan "kesejahteraannya" oleh pemerintah.
    sebaliknya titel kesarjanaan dengan hanya "merubah" judul skripsi, sudah dinyatakan layak meski tidak mampu berdalil.

    BalasHapus
  3. betul ustadz ku memang s-1 indonesia formalitas belaka. kasian .... kasian daku

    BalasHapus

*

Islam Mosque

Silaturrahmi...


ShoutMix chat widget

Kegiatan MAM 02