Senin, 24 Januari 2011

Agama anti Pemimpin Militer?

AGAMA MELEGITIMASI GERAKAN ANTI MILITER?
Oleh M. Rifqi Rosyidi
Teks agama selalu menjadi "belenggu" bagi para pemeluknya di tengah kehidupan yang semakin kompleks seperti sekarang ini, sehingga banyak dari kalangan "elit intelektual" menganjurkan adanya upaya bersama untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi syari`ah dalam rangka "menyelaraskan" semangat yang terkandung dalam teks tersebut dengan kondisi "kekinian" dan "keindonesiaan" (meminjam istilahnya Kuntowijoyo). Tetapi pada tataran tertentu teks agama merupakan senjata yang diandalkan untuk melegitimasi "hasrat politik" sebagaian orang, baik perorangan maupun kelompok, dengan melakukan pembacaan-pembacaan terhadap teks agama tersebut meskipun menghasilkan kesimpulan yang terkesan sangat dipaksakan. Selain perilaku "menarik" teks agama untuk lebih dekat dengan pribadinya, keinginan untuk menjadi penguasa mamaksakan seseorang untuk meletakkan dirinya manunggal dengan basis-basis kegiatan agama (pesantren dan para kyai) yang diformulasikan ke dalam bentuk "silaturrahim politik" dengan warga pesantren dan para ulama, bahkan dalam rangka meraih citra "keislaman" tidak ada salahnya mendekatkan diri dengan simbol-simbol keagamaan untuk sekedar melakukan ibadah "Umroh Politik". (mudah-mudahan ikhlas lillahi ta`ala). Dan nuansa "agamis" itu akan sangat kental terlihat pada masa-masa "obral janji" dan mencari simpati (kampanye).
Perilaku "konyol" elit politik di atas, menunjukkan bahwa agama (dan issu agama) masih dianggap sebagai objek yang "mantap" untuk diusung dalam rangka mensukseskan pencapresannya, meskipun pada tataran tertentu agama juga menjadi korban. Agama ternyata masih diminati, meskipun hanya sekedar menjadi pelarian politik atau topeng politik.
Pada pemilu 1999, tampilnya PDI-P sebagai pemenang pemilu dengan mengusung calon presiden perempuan Megawati Soekarno Putri memunculkan issu gender; menolak pemimpin (presiden) perempuan. Meskipun pada akhirnya pesan-pesan teologis dan profetis yang dijadikan argumen "politis" tidak banyak berfungsi dalam upaya "menjegal" Megawati menduduki kursi kepresidenan, bahkan Hamzah Haz, dengan platform partai berasaskan Islam yang sejak awal menolak presiden perempuan, akhirnya "tutup mulut - tutup telinga - tutup hidung" ketika mendapatkan kedudukan sebagai wakil presiden.
Tampilnya dua calon presiden (capres) dan satu calon wakil presiden cawapres dari kalangan militer: Wiranto, Susilo Bambang Yudoyono, dan Agum Gumelar, menjadikan pilihan presiden (pilpres) 2004 ini mempunyai nuansa dan issu yang berbeda dengan pemilu 1999. Gerakan anti-militer dan menolak pemerintahan yang militeristik, merupakan issu sentral yang "laris manis". Adalah "trauma politik" yang melatarbelakangi munculnya gerakan anti militer ini. Penangkapan aktivis mahasiswa dan tokoh agama, tragedi Semanggi, tragedi Trisakti, penembakan Tanjung Priok pada level nasional, Hitler dengan gerakan NAZI-nya, penangkapan dan pembunuhan ulama di Iraq dan Libya, pada level internasional, merupakan gambaran konkrit dari "ganasnya" aksi militer dan pemerintahan yang militeristik, dan yang demikian itu memberi kesan negatif di kalangan mahasiswa aktivis, yang dengan segala bentuk aksinya, kesan dan persepsi negatif ini berusaha untuk ditransformasikan kepada masyarakat pemilih yang masih "awam"; bahwa militer identik dengan otoritarian dan diktatorian. Orasi-orasi bebas dengan tema anti militer ini semakin marak digelar, karena mereka tidak ingin terjerumus masuk ke dalam kubangan lumpur yang sama. Persepsi ini dikuatkan oleh statemen salah satu calon presiden "terkuat" dari kalangan militer : "saya orang militer, tapi benci militerisme" (jawapos, 1/6), sebagai upaya untuk memperbaiki citra negatif kemiliterannya sehingga "layak jual". meskipun disadari atau tidak "ungkapan taubat" tersebut bisa saja menjadi bumerang, karena dibalik pernyataan tulus itu, menyisakan opini negatif bahwa pada dasarnya militer memang "ditakuti", ganas dan tidak demokratis.
Ada sebuah ungkapan hadits, yang ini merupakan prediksi profetik tentang masa depan kehidupan umat ini, yang menyatakan bahwa pada akhir zaman nanti akan muncul (penguasa atau calon penguasa dari) kalangan militer (al-syurthoh) yang berusaha untuk mangambil simpati dari berbagai kalangan, dengan kegiatan safari-safari "agamis-politis" (silaturrahim politik, umroh politik dan ibadah-ibadah lainnya yang bertendensi politis), meskipun demikian, semangat yang terkandung di dalam hadits tersebut menyatakan bahwa usaha mereka untuk meyakinkan "calon pemilih" dengan tampilan agamis tersebut, tidak mendapatkan "restu ilahi", akan tetapi malah murka (al-sukhtu) dan marah (al-ghadhab) dari Allah yang mereka temui. Yang lebih menarik lagi untuk dicermati adalah bagian akhir dari ungkapan hadits tersebut, secara doktrinal memberikan larangan (mewanti-wanti) agar umat Islam tidak "terjerumus" menjadi pendukung dan antek-anteknya (al-bithonah) dengan memilihnya menjadi presiden.
Ungkapan hadits ini bukan bagian dari "rekayasa politik", dalam pengertian bahwa hadits ini bukan hadits maudhu`, yang sengaja dibuat oleh kalangan tertentu untuk mencapai tujuan, sebagaimana anggapan beberapa tokoh orientalis (Goldziher) dalam mensikapi beberapa hadits yang "tiba-tiba" muncul dipermukaan pada level peristiwa tertentu untuk menguatkan opini publiknya, tetapi ungkapan hadits ini merupakan murni prediksi profetik yang dengan kekuatan wahyu ilahiyahnya menuangkan keprihatinannya terhadap masa depan kehidupan umat beragama kalau pada saatnya nanti dipimpin oleh seseorang dari kalangan militer. (lihat kitab al-siraj al-munir, juz 2 hlm. 345)
Dengan beredarnya pesan profetik ini di kalangan umat Islam (Indonesia) tantangan capres dari kalangan militer semakin berat, di samping secara berkesinambungan harus memperbaiki citra yang selama ini terkesan "sadis" dengan perilaku dan ungkapan yang menyejukkan, capres militer juga harus berhadapan dengan teks-teks agama yang secara doktrinal "melarang" pencapresannya. Tetapi apakah pesan profetik yang "anti" militer ini, dengan beberapa penafsiran yang merujuk kepada peristiwa nyata, mampu mempengaruhi semangat politik bangsa indonesia yang mayoritas beragama Islam untuk "menjegal" calon presiden dari kalangan militer?, ataukah pesan agama yang mengusung issu anti militer ini akan mengalami "nasib" yang sama dengan pesan agama yang mengusung issu gender pada pemilu 1999?. Kita tunggu kearifan, kecerdasan dan independensi rakyat pada pemilihan presiden 5 juli 2004 mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

*

Islam Mosque

Silaturrahmi...


ShoutMix chat widget

Kegiatan MAM 02